Selasa, 25 Januari 2011

Terjebak Dalam Stereotipe


Mempertanyakan apakah anak yang saya bawa adalah anak saya sendiri adalah yang sering kali ditanyakan orang Saudi atau expatriat lainnya kepada saya ketika di luar Rumah (seperti di Rumah Sakit, Masjid dan di tempat lainnya). Berbeda, Ketika saya pergi ke Rumah Sakit atau kemana pun di Indonesia, tidak pernah tuh ada orang mempertanyakan apakah yang sedang digendong itu anak saya atau bukan.

“Hiya Bint anti? Bintuki?” (ini anak kamu?)
“Anti Syughl hena?” (kamu kerja disini?)
Setelah pertanyaan pertama saya jawab Ya… biasanya sang penanya agak sedikit heran, lalu mereka mengungkapkan serangkaian pertanyaan lanjutan lainnya… Kamu disini tinggal dengan suami? Suami kamu kerja dimana?

Suatu ketika di Bandara, bahkan ada seorang TKW menyangka saya sedang mengasuh anak orang Saudi, dan nyaris tidak percaya kalo anak yang saya gendong adalah anak saya sendiri.

Ketika saya bertemu dengan para perawat dari filipina dan india, mereka pun kadang tidak percaya saya orang Indonesia hanya karena saya berbahasa Inggris (Bahasa Arab belum bisa soalnya, jadi mau pake bahasa apalagi selain bahasa Inggris).

Tapi yang paling mengesalkan adalah ketika ditanya oleh seorang petugas di rumah sakit. Saat itu Aufa baru saja selesai imunisasi, saya masih menunggu suami, saat itu saya tidak duduk di ruang tunggu khusus wanita, saya berjalan-jalan di rumah sakit karena Aufa bosenan. Tiba-tiba saya ditanya pake bahasa Arab..
“Ngapain kamu berdiri disini?” kira-kira begitu artinya.
“wen mama?” bahasa ammiyah yang artinya dimana mama... saya tahu maksudnya adalah menanyakan mana majikan kamu?
“Pardon? What did u say? I don’t understand?” (saya jawab saja begitu)
“Where is her mother?” dia kembali bertanya sambil menunjuki Aufa yang sedang digendong.
“I’M HER MOTHER!” saya jawab dengan kesalnya...

Hmmm.. terkadang kita sering terjebak dengan stereotype. Apalagi di Saudi, sebuah negara dengan penduduk 23% expatriat, yang sangat tergantung dengan SDM asing. Selama setahun lebih saya disini, nyaris tidak pernah saya melihat orang Saudi yang ‘bekerja kasar’ kecuali untuk profesi satpam. Di sini dari mulai tukang kebun, perawat, cleaning service, petugas di kasir, petugas sampah, dan pekerjaan ‘melelahkan’ lainnya semua dikerjakan oleh orang asing. Mungkinkah karena kondisi seperti ini, masyarakat disini jadi terbentuk dan terbiasa menilai status atau memberi label terhadap seseorang dari kebangsaannya?

Di sini sudah menjadi hal biasa sebuah bangsa diidentikkan dengan suatu profesi, sehingga terkadang kebangsaan seseorang menentukan status sosial dimata masyarakat Saudi. Dan, entah kenapa pada kenyataannya setiap profesi memang hampir selalu didominasi oleh bangsa tertentu. Contohnya, orang Indonesia identik dengan supir dan pembantu, sedangkan bangladesh identik dengan petugas sampah dan cleaning service, india biasanya identik dengan petugas kasir atau penjual di tempat perbelanjaan yang banyak dikunjungi expatriat.

Bahkan yang saya dengar dari teman saya (seorang mahasiswa ilmu keperawatan), gaji/salary (pada profesi yang sama pun) dibedakan berdasarkan kebangsaannya. Saya tidak tau apakah itu hanya ditempatnya bekerja atau itu berlaku di instansi-instansi lainnya. Padahal dalam Islam kita tidak bolejh menilai dan menyombongkan diri hanya karena warna kulitnya, bangsa/suku/ras-nya, status-nya, kekayaan-nya dan nilai-nilai lainnya kecuali ketakwaannya. Seperti yang Allah SWT firmankan dalam QS. Al Hujurat:13

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dalam suatu hadits riwayat Abu Hatim yang bersumber dari Ibnu Mulaikah berkenaan turunnya ayat ini ialah bahwa ketika fathu Makkah, Bilal naik ke atas Ka’bah untuk adzan. Beberapa orang berkata, “Apakah pantas budak hitam adzan di atas Ka’bah?”. Maka berkatalah yang lain, “Sekiranya Allah membenci orang ini, pasti Allah akan menggantinya. “Maka datanglah malaikat Jibril memberitahukan kepada Rasulullah saw apa yang mereka ucapkan. Maka turunlah ayat ini yang melarang manusia menyombongkan diri karena kedudukan, pangkat, kekayaan, keturunan dan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah dinilai dari derajat ketakwaannya.

Wallahu a’lam.

Minggu, 23 Januari 2011

Pantang Menyerah Menghafal Al Qur'an


Sekedar berbagi mengenai kondisi umat Islam di Saudi khususnya di Riyadh…

Setelah lima bulan tinggal di Riyadh ini, akhirnya bisa berinteraksi dengan masyarakat Arab di sekitar rumah.. karena sebelumnya hanya berinteraksi dengan sesama orang Indonesia lagi, di Ta’lim dua pekanan, acara KBRI, PPMI dsb.. tentu saja kecuali ketika belanja, dan ke Rumah Sakit.

Oia, perlu diketahui di sini orang Indonesia banyak banget soalnya, probabilitas bertemu dengan orang Indonesia ketika kita bepergian ke suatu tempat itu sangat tinggi..

Baru satu pekan yang lalu dibuka kelas tahfidz dan tahsin untuk perempuan di masjid dekat rumah, dari anak-anak sampai nenek-nenek, tidak ada batasan umur..

Kelas dibuka setiap sabtu hingga selasa (empat hari dalam 1 minggu) ba’da ashar sampai menjelang maghrib..

setiap pertemuan diharapkan bisa setor setengah halaman..

Ada beberapa halaqah, untuk halaqah yang saya ikuti, didominasi oleh ibu-ibu, usianya mungkin sekitar 40 keatas…

Disatu sisi cukup kaget ketika menyaksikan ada beberapa ibu-ibu dan nenek-nenek yang tidak bisa membaca Qur’an.. dalam benak saya, bahasa Arab adalah bahasa sehari-hari mereka, tapi pada kenyataanya mengapa mereka tidak bisa dan sangat kesulitan untuk membaca Qur’an… Ternyata bahasa Arab yang mereka gunakan bukan bahasa fushah (Bahasa Qur’an), tapi bahasa ammiyah… jadi selama ini mereka menghafalkan Qur’an dengan mengandalkan indera pendengarannya, dibimbing oleh Mu’alimah atau lewat kaset muratal…

Akan tetapi disisi lain, saya sangat kagum dengan ibu-ibu ini.. mereka semangat sekali menghafal Qur’an.. walaupun mereka kesulitan membaca Qur’an tapi rata-rata mereka sudah hafal 2-3 juz Qur’an.. bahkan nenek-nenek sekalipun.. Subhanallah…

Setiap halaqah mereka setor ada yang setengah halaman sampai satu halaman, lalu dilanjutkan dengan murajaah..

Ada beberapa di halaqah ini bahkan sudah hafidz.. (untuk menjaga hafalan maka mereka tetap mengikuti kelas tahfidz)..

Subhanallah, dibalik penilaian kami (orang-orang Indonesia) terhadap akhlak orang-orang Arab Secara umum yang kurang ‘baik’

tapi di sisi lain banyak hal yang bisa kita contoh dan teladani.. ya salah satunya adalah semangat untuk menghafal Qur’an.. Kalo saya mendengar cerita dari suami, insyaAllah Imam di masjid-masjid disini dapat dipastikan seorang yang Hafidz Quran…

Semoga, ini menjadi tadzkirah bagi saya pribadi dan teman2 untuk tetap bersemangat menghafal Qur’an..

Salam Ukhuwah dari Riyadh :)

9 Maret 2010

Sabtu, 22 Januari 2011

8 Bulan Habiskan Hidup di Jalanan...

Rekayasa lalu lintas dan penggunaan tata ruang kota yang tidak carut marut tentu saja dapat menimbulkan berbagai kerugian bagi masyarakatnya, salah satu diantaranya adalah akibat kemacetan. Contohnya saja yang terjadi pada saya pribadi, sejak 10 tahun yang lalu saya menggunakan jasa angkutan umum untuk berangkat dan pulang dari sekolah/kampus, jarak yang ditempuh tidak kurang dari 8 km. Waktu untuk menempuh jarak tersebut adalah 1 jam bahkan jika macet bisa mencapai 1,5 hingga dua jam. Jika dikalkulasi, saya sudah menghabiskan waktu saya selama 8 bulan di jalanan!!

Di Kota Bandung, hari libur maupun hari kerja sama saja, tidak ada bedanya, bahkan pada hari libur kemacetan lalu lintas di beberapa ruas jalan bisa lebih parah lagi. Jika musim hujan datang, kemacetan di kota Bandung tambah parah lagi.

Sebenarnya, Jika lalu lintas lancar tanpa hambatan jarak tersebut dapat ditempuh paling lambat 45 menit. Lalu mengapa ada waktu 15 hingga 45 menit waktu tambahan di jalan? Berdasarkan pengalaman pribadi, selain faktor kemacetan, perilaku supir angkutan umum yang seringkali ngetem pun menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya pertambahan waktu tempuh. Serba salah juga jika kita menyalahkan si supir, alasannya si supir juga tidak mau rugi.

Yang pasti supaya ga sia-sia pas naik angkutan umum.. isi dengan hal-hal yang bermanfaat.. Baca buku, ngapalin qur’an, atau baca doa alma’surat :)

Keizo Negi... RUARRR BIAZA!!!

Negi begitu biasanya Ia dipanggil, lelaki berperawakan cukup tinggi bagi ukuran orang jepang. Saya baru mengenal dia sebagai si empunya proyek statistik persampahan di Indonesia yang bekerjasama dengan KLH dan ITB. Sebelumnya saya hanya sering mendengar namanya saja di Lab B3, kesan yang saya tangkap dari mereka yang sering membicarakannya Ia adalah orang yang ”menyeramkan”. Baru satu pekan ini saya mengenalnya, namun selama satu pekan itu pula saya menderita karenanya...membuat saya dan teman-teman mengalami pengalaman pertama bergadang di kampus, dan beberapa hari bekerja hingga larut malam...saaangat melelahkan! Mengerjakan begitu banyak hitungan dalam belasan worksheet, terkadang menyebabkan ketelitian kami berkurang. Namun tentu tidak dengan Negi, dia sangat teliti sehingga berkali-kali kami terkaget-kaget, karena kesalahan kecil pun dapat ditemukannya. Sangat perfectionist dalam bekerja, sampai-sampai dosen saya, yang terbiasa bekerja dengan orang jepang pun ikut-ikutan stress dibuatnya.

Namun dibalik itu semua, saya bersyukur, saya dapat belajar mengenai profesionalitas, ketelitian dan kedisiplinan yang luar biasa darinya. Bahkan, sekilas saya dapat melihat karakter ”kesungguhan dan ketekunan” dari bahasa tubuhya, gaya duduknya, cara berjalannya serta bahasa tubuhnya ketika menulis..Subhanallah! Ternyata benar apa yang selama ini saya ketahui (orang jepang yang terkenal dengan ketekunan dan kerja kerasnya, serta pekerja yang menduduki peringkat pertama untuk banyaknya jumlah jam kerja).

Selain gaya bekerjanya yang super teliti dan super disiplin, cara dia berinteraksi dengan orang lain pun sangat sopan. Caranya ”memberikan titah” tidak arogan dan memaksa. Jika telah memberikan pekerjaan atau tugas yang memang cukup berat untuk dilakukan Ia selalu berkata ”terima kasih banyak....Sorry If I....” bahkan Ia pernah meminta maaf kepada kami ”I’m sorry if we work like a high school student”(sebenarnya kalo saya sih jadi berpikir, memangnya seperti apa kesibukan siswa SMU di Jepang??....hmmm tampak mengerikan!). Selain sopan santunnya, Ia selalu mengingat orang yang baru Ia kenal, bahkan menuliskannya dalam buku. Setiap orang yang diberi kartu nama olehnya, selalu Ia catat dalam bukunya...hmmm...sampai segitunya ya?!....Ruarrr Biaza Mr Negi!!!